Identitas Rumah Adat Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada
di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat
istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan
tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.
Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah
dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V,
dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun
yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung
Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara
Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan
ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.
Pada awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok
asal yang membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh
hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana
dibangun memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan.
Di belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.
Pada umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di
ladang maupun di sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan,
mendulang emas, dan mencari ikan di sungai.
Bentuk Rumah Tempat tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah
Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian
atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi
panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang
tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan
dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.
Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa
bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang,
lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.
Bubungan/atap biasa juga disebut dengan 'gajah mabuk,' diambil dari
nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu
dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong
jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat
dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap
seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan,
mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau
bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk
mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar
bubungan.
Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya
terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu
masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri
bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga
setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat
kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di
ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi
terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang
ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum.
Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu
itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik
pandai.
Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama
dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang
masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan
sebagai tiang kerangka bangunan.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat
bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat
di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa
ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai
utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan
selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang
tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk
menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas
bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.
Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.
Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan
yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti
teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu
yang belum dipersilahkan masuk.
Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam
tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah
kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.
Susunan dan Fungsi Ruangan
Kajang Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho,
ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam,
ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.
Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah
kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan
dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah.
Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan
dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air
dan ruang tempat menyimpan.
Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding.
Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa.
Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.
Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara
ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat
pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita.
Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam
atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur
orang tua, dan ruang tidur anak gadis.
Selanjutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung
sebelah kanan bangunan menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai
ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap
sebagai ruang utama. Ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang.
Besarnya ruang balik melintang adalah 2x9 m, sama dengan ruang gaho.
Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang disebut penteh. Ruangan ini
berada di atas bangunan, dipergunakan untuk menyimpan barang. Selain ruang
atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak
berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak pada waktu ada pesta, serta
kegiatan lainnya.
Ragam Hias
Bangunan rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam
hias yang berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora
(tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatang).
Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain adalah motif
bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk.
Motif bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk
manggis juga di depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar
rasuk (belandar) dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat
berwarna.
Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk
bangunan dan sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan.
Adapun motif fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan.
Ragam hias yang berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang
dilengkapi dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan
diukirkan di bagian bendul gaho serta balik melintang.
B. Rumah Tuo
a. Identitas Rumah Tuo
Jambi pernah berada pada masa-masa gundah pencarian identitas diri.
Bahkan, gubernur sampai harus menyelenggarakan sayembara untuk memastikan rumah
adat macam apa untuk dijadikan identitas negeri "Sepucuk Jambi Sembilan
Lurah" ini.
Jambi agak unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara.
Jika banyak rumah adat daerah lain mulai menghilang seiring dengan kemajuan
zaman, masyarakat Jambi justru tengah menikmati eforia membangun rumah-rumah
berarsitektur adat.
Sebenarnya, kegairahan ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, tatkala
Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan konsep arsitektur rumah yang menjadi ciri
khas Jambi. Gambaran jelas tentang wujud rumah adat tersebut dapat kita temukan
saat bertandang ke kompleks Kantor Gubernur Jambi di Telanaipura, Kota Jambi.
Tepat pada sisi kanan bangunan kantor kita akan temukan rumah adat
bertiang, berwarna hitam, lengkap dengan tanduk kambing bersilang ke dalam pada
ujung atapnya. Bangunan dengan arsitektur ini merupakan hasil sayembara yang
dimenangi salah seorang arsitek, yang juga pejabat daerah setempat.
Dalam penelusuran Kompas di sebuah permukiman tertua di Jambi belum
lama ini, diperoleh data bahwa dari sinilah sesungguhnya identitas Jambi
melalui rumah adatnya terkuak. Permukiman ini berlokasi di Dusun Kampung Baru,
Kelurahan Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Jambi.
Masih terdapat 60-an rumah adat berusia sekitar 600 tahun di sana.
Permukiman tertua itu dikelilingi ratusan rumah adat sejenis, tetapi usia
rumah-rumah tersebut sudah jauh lebih muda. Sangat mengagumkan, betapa
masyarakat setempat masih sangat menghargai warisan adat leluhurnya.
Rumah Jambi identik dengan adat Melayu Kuno. Di dalam rumah tergambar
tentang hubungan manusia dalam sebuah keluarga inti, keluarga besar, dan
masyarakat. Ada penghormatan terhadap nini mamak, jaminan perlindungan bagi
anak-anak, hidup berkecukupan dalam keluarga, dan keharmonisan sosial dalam
masyarakat. Di sini, etika hidup pun sangat dijunjung.
Rumah tertua di sana disebut Rumah Tuo milik Umar Amra (67), keturunan
ke-13 dari Undup Pinang Masak. Ia adalah salah seorang bangsawan Melayu Kuno
yang eksodus dari Desa Kuto Rayo, Tabir. Rumah bertiang ini masih kokoh meski
tiang-tiang dan kerangkanya dari kayu kulim, yang sangat keras dagingnya itu,
sudah berusia 600 tahun.
Menurut pemiliknya, rumah ini dulunya dibangun atas hasil kesepakatan
dan gotong royong dari semua anggota keluarga besar. "Ada 19 keluarga
pelarian dari Kuto Rayo yang bersama- sama membangun rumah ini. Setelah jadi
satu rumah, mereka bersama-sama membangun rumah keluarga yang lain. Begitu
seterusnya sampai tuntas dibangun 19 rumah," paparnya.
Kesepakatan para leluhur menetapkan 20 tiang dipancang untuk menegakkan
sebuah rumah. Atapnya semula dari daun rumbia, namun kini telah berganti seng.
Kolong rumah jadi gudang penyimpanan kayu bakar untuk memasak dan tempat ternak.
Rumah tuo melebar tampak dari muka, dengan tiga jendela besar yang
selalu dibuka pemiliknya hingga sore. Begitu cermatnya nenek moyang mereka,
sampai-sampai etika diatur melalui penataan jendela.
Etika bertamu diatur oleh hukum adat. Tamu yang bertandang akan masuk
ke rumah lewat tangga di sebelah kanan. Untuk tamu yang masih bujang, panggilan
anak laki-laki belum menikah yang hendak bertamu, hanya boleh duduk sampai
batas jendela paling kanan. Artinya, ia hanya boleh duduk paling dekat pintu
masuk dan tidak boleh lebih ke dalam lagi.
Sedangkan yang dapat duduk sedikit lebih dalam, setidaknya sampai ke
batas jendela kedua, adalah bujang dari keluarga besar alias punya ikatan
keluarga dengan pemilik rumah. Yang dapat masuk ke rumah hingga ke bagian
dalamnya adalah kaum pria yang telah menikah dan kaum perempuan.
Bilik melintang pada sisi dalam yang paling kiri adalah wilayah khusus
bagi tetua kampung atau tamu kehormatan. Panjang bilik sekitar empat meter.
Pada acara-acara rembuk warga, mereka yang duduk dalam bilik melintang akan
dapat melihat seluruh tamu, atau tamu-tamu yang baru akan masuk rumah melalui
tangga.
b. Satu Bilik
Rumah adat Jambi hanya memiliki satu bilik sebagai ruang tidur. Ini
dimaksudkan ada kebersamaan, termasuk saat beristirahat, juga dalam satu ruang.
Namun, sebagian besar masyarakat di sana lebih memilih tidur bersama di ruang
tamu karena tempatnya lebih luas.
Rumah tuo dibangun tidak hanya sebagai tempat hunian, tetapi juga
sebagai jaminan akan keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya. Terdapat
lumbung-lumbung padi pada bagian belakang rumah. Satu keluarga bisa memiliki
dua hingga tiga lumbung yang menyimpan berton-ton gabah hasil panen, dan tahan
selama puluhan tahun. Selama itu masyarakat setempat tak pernah kekurangan
pangan.
Sejumlah peralatan tradisional juga masih ditemukan di sana. Ada ambung
terbuat dari anyaman rotan, dipakai untuk mengangkut hasil tanaman, selalu
dipanggul di belakang punggung. Makanan dinikmati bersama dari tapan, bakul
nasi yang juga dari hasil anyaman. Sedangkan peralatan dari kayu-kayuan adalah
lesung, dan wadah penerangan yang biasa mereka sebut lampu Aladin.
Menurut Rio Kasim, pemangku adat setempat, rumah-rumah tersebut
dibangun oleh para eksodan warga Melayu Kuno yang sebelumnya menempati kampung
lain di kecamatan yang sama. Tujuannya mencari tempat aman.
Permukiman ini kemudian semakin berkembang. Namun, dalam
perkembangannya, masyarakat tetap menjaga kelestarian rumah adat. Warga yang
hendak membangun rumah baru juga mengacu kepada arsitektur adat setempat. Hanya
saja kayu yang digunakan tidak lagi kayu kulim karena sudah semakin langka.
Meski terkesan tidak jauh berbeda dari arsitektur rumah adat Minang,
ciri khas rumah adat Jambi dapat ditemukan pada sudut atapnya yang dipasang
tanduk kambing, yaitu kayu bersilang menghadap ke dalam. Tanda ini menandakan
rumah tersebut memiliki nini mamak sebagai pengayom.
Umar Amra mengungkapkan, tak ada keinginan dari dirinya untuk mengubah
wujud rumah, kecuali mengganti atapnya menjadi seng, sekadar alasan
kepraktisan. "Kalau atap dari rumbia harus diganti terus tiap dua atau
tiga tahun sekali. Seng lebih awet," tuturnya.
Ia mengaku bangga dengan rumah yang dimilikinya. Rumah yang masih kokoh
ditempati bersama istri dan anak-anaknya tersebut kini sering menjadi tempat
studi kalangan mahasiswa, peneliti, atau pejabat daerah yang ingin mengenal
lebih jauh tentang rumah adat Jambi.
Setiap kali memasuki permukiman rumah tua itu, kita seakan kembali ke
masa lalu. Keklasikan rumah-rumah yang saling berderet, lengkap dengan cara
hidup dan tradisi masyarakatnya, sungguh memberi kesempurnaan akan gambaran
adat Jambi. Di sinilah identitas Jambi kami dapatkan.
SUMBER
fuad-rumahadatjambi-fuad.blogspot.com (artikel)
bappedamerangin.net (Photo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar