Sabtu, 25 Mei 2013

Cerita Rakyat Asal Usul Terjadinya Bukit Si Guntang di Jambi

Gunung Merapi di Sumatera Barat, Bukit si Guntang di Jambi, dan Bukit si Guntang-guntang di Palembang, ketiganya mempunyai sejarah asal-usul yang sama. Pada zaman dahulu tersebutlah sebuah kerajaan yang bernama Selado Sumai. Negeri itu diperintah oleh seorang raja yang arif lagi bijaksana. Raja Negeri itu ada mempunyai sebuah pedang pusaka yang diturunkan secara turun-temurun, tapi sayang senjata tersebut tiba-tiba hilang tanpa diketahui ke mana perginya. Kalau di curi orang siapa yang mencurinya. Ke daerah mana dilarikan. Periswtiwa ini sangat mengharubirukan sang raja.
Pedang pusaka yang keramat serta bertuah itu bernama Pedang Surik meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan. Raja telah bertekad agar pusaka yang hilang itu harus ditemukan segera. Maka untuk menemukan kembali pedang pusaka itu, dipanggilah seorang hulubalang kerajaan yang amat terkenal bernama Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan. Disebut Datuk Baju Merah, karena setiap kali turut berperang bajunya selalu merah oleh darah. Dan disebut berbulu Kerongkongan, karena ketika dilahirkan kerongkongannya ditumbuhi bulu. Kewpada beliau inilah raja mempercayakan untuk mencari pedang pusaka yang hilang itu.
Ketika Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan mendapat tugas ini beliau menerimanya dengan senang hati tanpa membantah sedikit juapun. Sebagi hulubalang kerajaan, beliau tahu benar dengan tugasnya. Maka pergilah beliau masuk hutan mencari pedang pusaka yang hilang itu. Belau tanpa takut sedikit juapun bertualang sampai ke sebuah goa. Diputuskannyalah untuk memasuki goa itu. Goa itu nampak sangat gelap. Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan melangkahi satu-satu dengan pasti menyusup berpegangan kepada dinding goa yang keras dan dingin. kalau semenjak tadi goa itu gelap, tidak demikian halnya pada bagian dalam. Di bagian sebelah ke ujung goa itu namapak terang sekali, rupanya, dibagian itu ada lobang disebelah atas. Melalui lobang itu cahaya matahari bebas menerpa dasar goa. Sesampai disana Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan amat terkejut di sebuah batu yang tampak dilihatnya seorang tua sedang duduk bertapa, mulut orang tua bertapa itu nampak komat-kamit mengucapkan sesuatu. Di haribaannya terlintang, sebuah pedang. Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan nanar memeperhatikan benda tersebut. Menurut hematnya itulah pedang Surik meriang, sakit sumbing sembilan puluh sembilan yang hilang dari kerajaan Selado Sumai yang sedang dicarinya. Setelah menunggu beberapa saat berserulah, beliau menyapa orang asing yang sedang bertapa itu. Ooi, Datuk yang sedang bertapa! Siapa gerangan Datuk Sebenarnya, dari negeri mana Datuk datang.
Mendengar ada suara manusia petapa itu dengan suatu gerakan menoleh kearah datangnya suara itu. Dari sikapnya ia tidak merasa takut sedikitpun mendengar sapaan yang tiba-tiba itu. Dengan suara keras ia menghardik. “Tutup mulutmu jangan banyak omong takkan engkau ketahui bahwa aku sedang bertapa? Ketahuilah olehmu bahwa akulah yang bernama Panglimo Tahan Takik, berasal dari Ranah Pagaruyung. Siapa engkau gerangan yang selancang ini. Ada keperluan apa makanya engakau sampai kemari.”
“Hamba? hamba bernama Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan, hulubalang kerajaan selado sumai. Maksud hamba datang ke mari hendak mencari pedang pusaka negeri Selado Sumai yang hilang. Pedang itu bernama pedang surik meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan. Kalau hamba tak salah lihat, pedang pusaka itu ada di haribaan Datuk Panglimo!
“Kurang ajar!” raung panglimo Tahan Takik. Ia pun lalau tegak dan langsung menyerang Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkong. Perkelahian sudah tak dapat dihindarkan lagi. Mula-mula saling tendang-menendang, kemudian. Saling hempas-menghempas. Bunyi pekik dan raung bersipongganga melantun-lantun di diniding goa. Binatang-binatang yang ada, disekitar goa itu bertemperasan lari. Mana yang berdiam di atas pohon beerloncatan ketakutan, daun-dau kayu berguguran kena terjang binatang yang berlompat-lompatan. perkelahian makin seru, tanpa ada tanda-tanda yang kalah dan yang menang. Kedua, manusia itu namapak seimbang. sama-sama sakti dan bertuah. Dinding goa pecah-pecah kena sepak dan kena hempasan tangan kedua jagoan itu.
Bila malam telah datang mereka saling menghentikan perekelahian untuk sama-sama beristirahat. Istirahat semalam suntuk cukup untuk memulihkan kekuatan. Esoknya matahari mulai bersinar lagi. Perkelahian pun dilanjutkan makin dahsyat. Gerakan mereka berpindah-pindah dari tempat yang terang ke tempat yang gelap. Terkam-menerkam, hempas-menghempas. Melompat, berpalun bertumbukan. Tak Jarang buku tangan kedua dubalang itu beradu, berdetak, menggelegar, menerbitkan api. Dindidng goa makin banyak yang runtuh.. Untunglah kemduaian malam datang pula memperhatikan perkelahian yang mengerikan itu.
Kokok ayam Derogo telah lama berhenti. Kicau murai dan cicit burung kecil-kecil mulai terdengar. Matahari musim kemarau mulaimemanasi daun-daun kayu. kedua dubalang itu mulai, bersiap-siap tanap mengeluarkan sepatah katapun. Maka mereka bersinar marah saling mengawasi gerak lawan. inilah hari yang keenam mereka berkelahi. Tubuh kedua pendekar itu nampak bergulung-gulung hempas-menghempas. Sebentar-sebentar terdengar suara pekikan, bersipngan terpantul-pnatul di anatar kedua sisi dinding goa. Batu pecahan dinding goa makin bertambah banyak berguguran. Perkelahian ini, memang semakin tinggi dan hebat. Tapi sungguh sangat menarik belum ada tanda-tanda yang akan kalah dan yang akan menang. Matahari telah pula tergelincir di ufuk barat. Malam telah tiba, kedua dubalang itu sama-sama menghentikan gerakan dan saling menjauhkan diri, mundur dan beristirahat. Datuk Baju Merah bergegas keluar goa agaknya mencari dedaunan untuk dimakannya. Datuk Tahan Takik demikaina pula keluar mencari apa-apa yang dapat dimakannya. Tak obahnya kedua orang itu bagaikan musang raksasaa yang mencari makan di wkatu malam hari. Setelah perut mereka kenyang mereka sama-sama beristirahat dan melepaskan mata.
Matahari pagi telah tiba, mengawali hari ketujuh dlama mengikuti perkelahian antara kedud pendekar yang tangguh di dalam sebuah goa ditengah rimba raya negeri Selado Sumai. Pada yang ketujuh ini tempat elah berpindah kbagian luar. Perkelahian sudah semakin hebat. Pohon-pohon kayu banyak yang tumbang. Permukaan tanah bagaikan tercukur terinjak, kaki dan himpitan tanah keuda pendekar yang berkelahi mati-matian itu.
Entah salah dalam melangkah, entah nasib lagi sial, dapatlah Datuk Baju Merah Bebulu Kerongkongan menangkap kaki Panglimo Tahan Takik yang segera menghmpaskannya ke banir kayu. Pada saat tubuh Panglomo Tahan Takik terhempas itu, pedang surik meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan terlepas dari pengangannya dan terpental keudara.
Melihat ini segera Datuk Baju Merah B erbulu Kerongkongan melepaskan kaki Panglimo Tahan TAkik dan tubuhnya membumbung ke udara mengikuti arah pedang dan lalu menangkapnya. Ketika kakinya menjejak tanah, tanpa buang waktu larilah Datuk Baju merah Berbulu Kerongkongan membawa pedang pusaka yang tergenggam ditangannya.
Datuk Panglimo Tahan Tekik sadar bahwa pedang yang mereka perebutkan telah berhasil diambil lawannya, segera berdiri dan mengejar Datuk Baju Merah Berbulu kerongkongan. kedua pendekar itu berkeja-kejaran sejadi-jadinya. Penghuni rimba, binatang besar kecil, berlarian pontang-panting ketakutan.
Sudah tujuh lurah tujuh pematng yang mereka lalui, akhirnya sampailah ke sebuah tanah lapang yang maha luas. Sesayup-sayup mata memandang rumput hijau papak belaka. Di atas padang datar itulah kedua pendekar masih saling kejar-mengejar. Namun tiba-tiba mereka berhenti, dimuka mereka nampak seekor ular besar sedang menghadap siap menelan barang siapa yang berani mendekat.
Melihat hal ini kedua pendekar yang bermusuhan itu saling mendekat penuhg pengertian. mereka mulai mengadakn perundingian. “Di depan kita melintang ular besar yang akan mellur kita, Datuk Panglimo, “kata Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan. “Menurut hemat hamba, barang siapa yang sanggup membunuh ulr itu, dialah yang berhak memiliki pedang surik meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan ini. Setujukah Datuk penglimo?
“Kalau demikian ujudnya, “jawab Datuk Panglimo tahan Takik gembira, “hamba setuju sekali.”
Selesai berucap demikian Datuk Panglimo Tahan Takik lalu menghunus, keris. Panjangnya bergegas menuju ke tempat ular besar telah siap pula menunggunya. sesampai disana ditikamnyalah ular besar tersebut sekuat-kuatnya. Begitu ujung keris Datuk Panglimo mencecah di kulti ular, terdengar bunyi berdencing keras memekakkan telinga. Keris tersebut terpental. Pangkal ketiak Datuk Panglimo merasa kesemutan. Dilihatnya keris panjang itu bengkok sepuluh, sedang kulit ular itu sendiri tidak cedera sedikit juapun.
Datuk Panglimo merasa sangat kesal. Di pihak lain, terdengar gelak mengkkak Datu Baju Berahg Berbulu Kerongkongan mengejek lawannya. Datuk Panglimo tentu saja sangat marah dibuatnya. Keringatnya membasahi muka dan sekujur tubuhnya, matanya mendelik menengadah ke awang-awang. Ia pun mencabut keris pendek yang tersisip di puinggangnya. Diugasaknya menikamkan senjata tersebut kebadan ular besar yang mengerikan itu.
“Terimalaha tikaman mautku ini ular keparat! terdengar raung Datuk Panglimo seraya menghujamkan kerisnya kuat-kuat. Ya Tuhan ular tadi tidak juga cidera sedikit pun.
Melihat temannya tidak mampu membunuh ular besar yang melintang dan menghalangi perjalanan mereka, Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan berdiri dalam, sikap seorang dubalang. Sebentar matanya melirik kepada pedang surik meriang sakti yang dipegangnya. Ia melangkah lambat-lambat secara menyakinkan. Sambil melangkah itu ia Mengucapkan kata sakti dan himbauan.
“Kalau benar engkau pedang surik meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan, pusaka Kerajaan Selado Sumai, Sobeklah olehmu kulit ular itu dan putuskan urat-urat nadinya. Selesai berucap yang demikian dicabutnyalah pedang tersebut. Tentu saja ia berhajat untuk segera menetak badan ular itu. Tiba-tiba keluar cahaya seperti kilat dari senjata pusaka milik negeri Selado Sumai, serentak dengan itu dihunjamkannyalah senjata itu sekuat-kuatnya.
Terpungkus dan potongan tiga badan ular besar tersebut melihatr kenyataan ini, Datuk Panglimo Tahan Takik sangat marah. Ia melompat kesamping, serentak dengan itu ditendangnya kepala ular itu sekuat-kuatnya. Kepala ular itu terlempar ke udara bersiutan dan jatuh di Ranah Minang kabau, yang lama-kelamaan menjadi gunung Merapi seperti yang ada sekarang. Ekornya diangkatnya menjadi tangan lalu dilemparkannnya jatuh kenegeri Pelembang menjadi Bukit Siguntang-guntang. Sedang perutnya, bagian tangah dibiarkan saja tertinggal di Jambi di daerah Sumai menjadi Bukit Si Guntang. Itulah sejarah asal-usul terjadinya Bukit Siguntang.


Tidak ada komentar: