Seiring Balam Jo
Merbah
Merbah Bersarang
Dirumpuan Buluah
Seiring Salam Nan
Jo Sembah
Sembah Disusun Nan
Jo Jari Sepuluah
SUMBER:
SLAMET PRIYADI
Pada waktu dulu Di hilir
sungai Batang Agam di daerah Padang Tarok yang airnya jernih, berdiri sebuah
rumah bergojong (berujung) empat. Rumah tersebut dihuni oleh sepasang suami
istri bernama Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka mempunyai dua orang
anak, laki-laki dan perempuan, Mangkutak Alam dan Sabai nan Aluih.
Mangkutak Alam berwajah
tampan, selalu dimanjakan oleh ayahnya ke mana pun pergi ia selalu diajaknya
dan merupakan anak kebanggaan. Wataknya sedikit penakut. Sedangkan kakaknya
Sabai nan Aluih berwajah cantik, lembut, rajin dan sering membantu ibunya.
Waktu luang dimanfaatkan untuk membuat renda dan menenun. Kecantikan Sabai nan
Aluih ini bahkan didengar sampai ke kampung-kampung lain di daerah Padang
Tarok.
Suatu ketika Rajo nan
Panjang seorang saudagar kaya yang baru kembali dari rantau, orang yang
disegani di kampong Situjuh berkeinginan untuk menyunting Sabai nan Aluih. Maka
dikirimlah anak buahnya sebagai utusan untuk melamar Sabai. Rajo Babanding
orang tua Sabai menolak lamaran ini karena dia tahu, Rajo nan Panjang berusia
sebaya dengannya, juga bersifat sombong, mata keranjang dan selalu membanggakan
akan kekayaan dan harta bendanya.
Aku Katakan pada majikanmu,
bahwa aku menolak lamarannya, pula Sabai belum mau berumah tangga! Aku Berkata
Rajo Babanding kepada utusan Rajo nan Panjang.
Rajo nan Panjang yang
berwatak keras merasa tersinggung atas penolakan ini. Beberapa hari kemudian ia
sendiri yang datang ke rumah Rajo Babanding untuk melamar Sabai nan Aluih
tetapi tetap ditolak dengan alasan Sabai nan Aluih belum mau berumah tangga.
Mendengar langsung penolakan ini, Rajo nan Panjang pun menantang berkelahi
kepada Rajo Babanding.
Aku Rajo Babanding, kau
telah menolak lamaranku untuk menyunting putrimu Sabai. Itu arinya kau
menghinaku dan sebagai orang yang disegani di kampong Situjuh, aku tak terima
ini dan engkau akan menerima akibatnya. Aku Ancam Rajo nan Panjang sambil
menunjukkan tangannya ke arah muka Rajo Babanding.
Mendengar ancaman ini Rajo
Babanding sedikit pun tak merasa takut. Ia pun balik menantang Rajo nan Panjang,
Kau kira aku takut dengan segala bentuk ancamanmu itu! Baik, sekarang mari kita
bertanding,
Baik, kapan?
Aku jawab Rajo nan Panjang.
Bagaimana kalau hari minggu, di Padang Panahunan!
Mendengar pertengkaran ini,
Sabai nan Aluih yang berada di balik pintu, hatinya merasa gusar. Ia takut
kalau mimpi yang dialaminya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia bermimpi,
lumbung padinya terbakar jadi arang, kerbau-kerbaunya yang berada di kandang
dicuri orang, dan ayam aduannya disambar elang. Segera ia pun mengutarakan
mimpinya itu kepada ayahnya.
Anakku Sabai, mimpimu itu
berarti baik. Lumbung terbakar berarti padi akan segera dipanen, kerbau dicuri
orang berarti ternak kita akan bertambah, ayam disambar elang itu artinya
Mangkutak Alam akan dilamar orang.†Demikian jawab Rajo Babanding sambil mengelus rambut
putrinya itu dengan maksud untuk menenangkan pikiran gusar Sabai nan Aluih.
Pada hari yang telah
disepakati, pergilah Rajo Babanding ke Padang Panahunan, sebuah tempat sunyi
biasa dipakai sebagai tempat adu kesaktian. Rajo Babanding mengajak seorang
pembantu setianya bernama Palimo Parang Tagok. Ini dilalukannya bukan untuk
membantunya bertanding, tetapi untuk berjaga-jaga apabila Rajo nan Panjang
berbuat curang.
Di Padang Panahunan, Rajo
nan Panjang sudah berada di sana terlebih dahulu bersama para pengawalnya. Rajo
nan Kongkong, Lompong Bertuah, dan Panglimo Banda Dalam.
Hai pengawalku,
kuperingatkan kepadamu. Jangan sekali-kali memandang remeh Rajo Babanding.
Meskipun ia Nampak lembut, ia cukup mahir dalam bermain silat dan hatinya tegar
sekeras batu karang, berhati-hatilah! Tugas Rajo nan Panjang kepada ketiga
pengawalnya.
Setelah kedua belah pihak
saling berdekatan, pertarungan pun tak terelakkan lagi, merekapun saling
menyerang. Palimo Banda Dalam tersungkur terkena tendangan Palimo Parang Tagok.
Lampong bertuah menyerang untuk membela temannya dengan menikam Palimo Parang
Tagok dari belakang. Melihat ini Rajo Babanding menjadi marah. Jika semula dia
hanya bertahan, kini dia mulai menyerang. Rajo nan Panjang terluka lalu
terjatuh dalam lukanya yang parah ia berkata kepada pengawalnya, Nan Kongkong,
Kenapa kau diam saja? Segera tembakkan senapanmu! Mendengar perintah ini Nan
Kongkong yang berada dibalik semak-semak segera mengarahkan senapannya kearah
Rajo Babanding. Bunyi letusan senapanpun berdentam dari balik semak-semak,
dor...dor..dor... ! Rajo Babanding pun terjatuh ke tanah berlumur darah.
Sementara di tempat lain
seorang gembala ternak yang menyaksikan pertarungan tersebut dan melihat Rajo Babanding
terluka parah tertembak senapan Nan Kongkong, segera menyampaikan kejadian ini
kepada Sabai nan Aluih. Mendengar berita ini, Sabai sangat terkejut. Ternyata
mimpinya menjadi kenyataan. Pada saat itu Mangkutak Alam adik Sabai datang.
Kata Sabai, “Hai, Mangkutak. Mari kita ke Padang Panahunan, ayah kita terluka
parah dan sudah meninggal karena tertembak senapan di dadanya.aku berkata Sabai
kepada adiknya Mangkutak Alam.
Oh, kak. Aku tak mau ikut,
aku sungguh takut mati. Bukankah aku akan segera menikah.? Jawab Mangkutak
tidak perduli sama sekali dengan keadaan ayahnya.
Percuma kau menjadi
laki-laki. Kau sungguh pengecut! Bentak Sabai kepada adiknya sambil mengambil
senapan di dalam kamar ayahnya. Kemudian iapun berlari ke Padang Panahunan
untuk membalas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Nan Kongkong pengawal Rajo
nan Panjang. Mangkutak Alam hanya menatap saja, diam seribu bahasa memandang
kepergian Sabai kakaknya.
Di tengah-tengah perjalanan
di kaki bukit ilalang, Sabai berpapasan dengan Rajo nan Panjang dan
pengawalnya.
ha...ha...ha... Sabai!
Kebetulan sekali. Aku ingin menjemputmu untuk aku lamar. Ternyata engkau dating
sendiri! kata Rajo nan Panjang.
Hai, tua bangka yang tak
tahu malu. Kau telah membunuh ayahku dengan cara pengecut! Dasar bedebah!
Lancang sekali mulutmu,
Sabai. Kau akan menyesal seperti ayahmu nanti! Mati tertembak senapan ini! sambil
menepuk-nepuk senapan di tangannya. Oh... jadi kau telah membunuh ayahku yang
tidak bersenjata itu. Sungguh kau manusia bedebah. Padahal ayahku tidak
bersenjata, kau sungguh licik! sambil mengarahkan senapannya ke wajah laki-laki
itu. Dan bunyi senapan Sabaipun berdentam beberapa kali membuat tubuh laki-laki
sombong, mata keranjang terjerambab ke tanah. Tewas seketika. Para pengawal
Rajo nan Panjang setelah melihat majikannya tewas hanya terperangah. Beberapa
saat kemudian Nan Kongkong mengajak temannya pergi sambil berucap, Untuk apa
membela orang yang sudah mati. Orang mati tentu tak bisa membayar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar